Cari Blog Ini

Kamis, 01 Desember 2011

Perjalanan KA. Lokal Bandung - Purwakarta - Jakarta menempuh 12Jam

Gue bertekat ke Jakarta untuk memenuhi panggilan di sebuah Perusahaan besar dan ternama di Indonesia.!!!
Akan tetapi dengan modal nekat dan semangat 45 yang tinggi gue memberanikan diri ke Jakarta dengan bermodalkan ongkos 25rb..!!! Sehari sebelum gue memenuhi panggilan gue tak henti-hentinya meminta restu kepada bokap nyokap gue supaya perjuangan gue ke Jakarta gak ada hambatan juga rintangan..!!

Ke Esokan hari pun tiba.. Gue pamit dengan rasa was-was juga takut, gue berangkat pagi buta ke St. Kiaracondong niatnya mw pake KRD menuju ke St. Bandung untuk melanjutkan perjalanan kereta menggunakan Argo Parahyangan.!! akan tetapi gue gk mampu untuk beli tiket tu kereta Argo. Akhirnya gue tanya2 ke kepala kondektur KA Lokal yang bisa gue tempuh hingga k Jakarta harus menggunakan apa? Kondektur KA pun berkata "gampang mas, mas tinggal beli tiket KA Lokal Cibatu - Purwakarta, terus di lanjutkan dengan menggunakan  KA Lokal Purwakarta - Djakartakota." Gue "Makasih ya pak atas bantuannya.?". Gue langsung bergegas meninggalkan bapak kondektur tersebut lalu membeli tiket KA Lokal Cibatu - Purwakarta
Tiket KA Lokal Cibatu - Purwakarta



 Nah setelah gue membeli itu tiket dan nunggu d St. Kiaracondong Sekitar 2jam datanglah KA Lokal Cibatu - Purwakarta. dengan rasa senang akhirnya kereta itu pun menghampiri penumpang tersebut yang lama sudah menunggu. Hohoho..

Akhirnya gue tumpangin juga kereta lokal Cibatu - Purwakarta, perasaan lumayan enak menggunakan kereta lokal tersebut,, gk beda jauh lah dengan yang biasa gue gunain perjalanan menggunakan KA Argo Parahyangan Bisnis.. bedanya cuma di tempat duduknya aja kelas ekonomi juga di situ dipenuhi dengan segala jajanan yang murah meriah,, n banyaknya rata-rata pengguna tersebut yang mw hijrah dari kampung ingin k kota...!!

Kamis, 20 Januari 2011

JADILAH ORANG GILA YG MAMPU MENGENDALIKAN KATA2

PENYAIR itu adalah manusia yang mampu mengendalikan kegilaannya melalui kata-kata. Maka penyair yang berhasil yakni penyair yang sangat gila, tapi juga sangat cerdas mengontrol kegilaannya. Intinya, penyair merupakan perpaduan orang gila dan orang jenius.

Mereka yang bermodalkan kecerdasan tapi tidak gila, yang terjun ke dunia kepenyairan akan gagal menjadi penyair. Mereka cenderung menempatkan dirinya sebagai orang pintar yang berharap mampu menciptakan penyair atau membunuh penyair. Mereka ini biasanya menjadi redaktur media massa, penggiat sastra, atau menjadi pengamat sastra.

Mereka yang gila tapi tidak cerdas, akhirnya juga gagal menjadi penyair. Mereka justru menjadi benalu bagi kepenyairan. Mereka berperilaku seperti penyair, tapi tidak menghasilkan apa pun. Mereka ini mampunya mengatakan dirinya penyair yang besar. Kemampuan mereka turut meramaikan sebuah diskusi atau komunitas. Jika kegilaan tidak terkontrol, mereka benar-benar lepas dari dunia sebenarnya. Setidaknya mereka menjadi pengacau dan merusak citra penyair di tengah masyarakat.

Mengapa Gila? Gila di sini dimengerti sebagai sesuatu di luar kewajaran imajinasi manusia umumnya. Imajinasi yang liar, yang masuk ke dalam ruang-ruang gelap, menghentak, berputar-putar, bersetubuh dengan sunyi yang dingin, merupakan kanal yang harus dijalani penyair sepanjang waktu. Hanya kelelahan yang membuatnya berhenti. Tapi itu batasnya tidak jelas. Pada akhirnya dia akan menemukan berbagai benturan nilai. Mulai dari ruang Ketuhanan, sejarah benda-benda, ideologi, biografi angin, cinta, air, api, dan akhirnya dia menangis atau marah besar ketika seseorang mengatakan, “Aku mampu membelikanmu pakaian.”

Bagi seorang penyair kalimat seperti itu merupakan penghinaan yang paling dalam. Dia berpikir, orang lain telah menilainya dengan selembar pakaian. Hanya dengan selembar pakaian, dirinya dinilai orang merupakan sosok yang harus ditolong, atau orang yang lemah. Pernyataan itu pun menghancurkan berbagai keyakinan—begitu pun diyakini penyair—bahwa manusia itu sama. Dinilai dari jiwanya bukan dari pakaian yang dikenakannya.

Jadi tidak heran, kegilaan ini membuat banyak orang sulit berkomunikasi dengan penyair. Termasuk di lingkungan keluarga si penyair. Mereka setiap saat mengejutkan, sulit ditebak. Namun, justru sosok penyair seperti itu, yang membuat banyak orang menemukan sesuatu yang unik, baru, sehingga sering memberikan kesenangan atau kebahagiaan tersendiri. Tepatnya, kegilaan yang memberikan jutaan daya tarik.

Mengapa Cerdas? Kalau tidak cerdas, tentu saja penyair akan gagal sebab dirinya tidak mampu mengelola kata dengan disiplin yang tinggi. Penyair dituntut mampu membaca, menyimak, dan menterjemahkan kata yang menjadi lambang dari penandaan yang dilakukannya atas dunia rupa, bunyi, yang berseliweran begitu cepat di sekitarnya. Dia harus teliti memilih kata, sehingga mampu menjadi pusat dari gambaran yang ingin disampaikan, sehingga puisi atau sajak yang lahir itu benar-benar memberikan ruang yang luas bagi orang menikmatinya; penuh kejutan, indah, benar, dan merangsang.

Dan, hanya kecerdasanlah yang mampu memfasilitasi kerja yang dilakukan penyair tersebut. Ini artinya menjadi penyair itu sama serius seperti orang menjadi filsuf, dokter, insinyur, pemuka agama, atau profesi lainnya. Dia juga harus melakukan tahapan-tahapan ilmiah; seperti survei, menganalisis dan terus mencoba dengan berbagai hal yang baru. Bahkan, penyair itu kerjanya tampak lebih berat lagi, sebab tahapan ilmiah itu juga harus dikemas dalam keliaran atau kegilaannya dalam berimajinasi.

Hari Ini? Saya menulis persoalan penyair ini, karena saya membaca hari ini atau kekinian lahirnya penyair tidak banyak yang mengejutkan. Biasa saja. Sama seperti kelahiran adanya polisi baru, pegawai negeri baru, atau sarjana baru. Puisi semata dijadikan formalitas bagi persyaratan atas identitas tersebut. Puisi bukan menjadi tanda dari sebuah karya penyair sebenarnya yakni gila yang jenius. Tidak ada usaha yang sungguh-sungguh, atau tidak ada yang betul-betul berbakat atau memiliki potensi penyair sebenarnya.

Kenapa ini terjadi? Penyair yang lahir lantaran kontradiksi kebudayaan dan sosial, terkalahkan oleh penyair yang lahir dari proyek-proyek kebudayaan yang membosankan atau menjenuhkan. Artinya, puisi yang lahir dari keindahan di Pagaralam, kekumuhan di sepanjang sungai Musi, jauh terbuang dibandingkan oleh puisi-puisi yang lahir dari lomba-lomba penulisan puisi; yang mana puisi yang diikutsertakan mengalami banyak campur tangan ideologi dan rasa, seperti keinginan guru, orangtua, dan terakhir para juri.

Bahayanya, puisi-puisi seperti ini mendapat dukungan jejaringan sosial dan politik yang cukup besar, seperti pemerintah, media massa, penerbit, dan organisasi kebudayaan. Benarkah? Saya hanya memberikan jawaban pada teks-teks puisi yang kita baca di buku-buku, koran, majalah, internet, dan lainnya. Adakah yang mengejutkan? Memberikan ruang buat merenung seluasnya? Masyarakat justru sering terhentak, merenung, dengan kata, rupa, bunyi dari sebuah peristiwa kriminalitas atau dongeng dari televisi, seperti Ryan membantai puluhan pasangan gay-nya.

Jadi, saran saya, jika tidak memiliki kegilaan dan jenius jangan menjadi penyair, sebab akan menjadi persoalan bagi proses kebudayaan Indonesia. Ambilah ruang-ruang lain, yang saya percaya membutuhkan banyak manusia.
AJEEB!

Jumat, 14 Januari 2011

KeBeLeT PiPiS

Di dalam sbuah bus pariwisata yg semuanya adalah wanita hanya ada satu pria yaitu sopir bus tersebut,di sela-sela perjalanan seorang ibu-ibu tidak tahan ingin buang air kecil,si ibu berkata kepada sopir bus “pak sopir tolong berhenti sebentar saya mau buang air kecil”
tapi sopir menjawap “sudahlah ini malam di sini juga rawan tahan saja dulu,kalaw memang tidak tahan di jendela saja sana gak ada yang lihat juga”
batin si ibu benar juga lalu ibu membuka jendela dan pipis ternyata ibu mengencingi pereman yang sedang mengendarai motor si ibu ketakutan dan langsung duduk kembali pura-pura tidak tahu,
Pereman langsung saja mengejar bus dan menghadangnya pereman itu langsung saja masuk ke dalam bus dan berkata “siapa yang berani-beraninya meludahi saya”
sopir bus menjawap “apa anda mengenali orang yang meludahi anda tadi” pereman menjawap “ya saya mengenalinya dia laki-laki mempunyai kumis dan jenggot yang tebal di mana orang tersebut”
si sopir menjawap “di sini tidak ada laki_laki selain saya” peremen terheran-heran setelah memeriksa ternyata benar-benar tidak ada seorangpun laki-laki yang mempunyai kumis dan jenggot yang tebal seperti yang di ingatnya tadi lalu dia pergi sambil bertanya-tanya di hati.
si ibu berkata kepada teman sebangku dengannya “sebenarnya yang di cari pereman tadi adalah m…k saya dan tadi bukan saya ludahi melainkan saya kencingi,hahahahaha dasar pereman begok”